Zakat Perniagaan?

Zakat Perniagaan, Bagaimana Menghitungnya?
Assalamu'alaikum wr.wb.

Apakah benar cara perhitungan zakat mal untuk perniagaan adalah :

1. Hasil perolehan usaha langsung dikalikan dengan besarnya prosentasi zakat yang harus dikeluarkan?

2. Ataukah total hasil perolehan usaha dikurangi dulu dengan modal usaha, kemudian baru dikalikan dengan prosentasi zakat?

Mana yang benar di antara kedua cara ini, mohon penjelasan dari ustadz.

Demikian, terima kasih, wassalam,

Wahib A



Jawaban :Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,



Sebelum mulai menjawab pertanyaan ini, izinkan saya kalau 'terpaksa' harus jujur dalam masalah ini. Saya berusaha objektif dan merasa terlalu perlu untuk menutup-nutupi fatwa para ulama yang sebenarnya.


Walaupun barangkali buat sebagian pegiat zakat, apa yang saya paparkan ini malah menjadi aneh, mungkin malah dituduh kurang kooperatif dan tidak produktif. Bahkan sering dibilang kurang mendukung pengembangan zakat di era modern.

Tetapi yang namanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, memang harus secara terbuka disampaikan, tujuannya tentu bukan untuk bikin bingung atau adu domba. Tujuannya semata-mata kita bersikap objektif, adil dan jujur pada amanah ilmiyah.


Aslinya Tidak Ada Zakat Perniagaan

Istilah zakat perniagaan sebenarnya tidak dikenal dalam fiqih Islam yang klasik. Di dalam literatur kitab fiqih klasik yang muktamad dan mewakili masing-masing mazhab, kalau kita telurusi satu per satu, maka kita tidak menemukan adanya pandangan jumhur ulama tentang kewajiban atas harta dari zakat hasil perniagaan.


Dan sepanjang 14 abad ini, kita tidak pernah menemukan ada ulama yang mewajibkan zakat atas setiap transaksi jual-beli atau usaha-usaha produktif yang dilakukan seorang muslim.

Mengapa demikian?


Penyebabnya adalah karena dalam kenyataannya memang ternyata Al-Quran dan As-sunnah tidak pernah mewajibkan zakat atas transaksi keuangan, baik dari hasil menjual barang, atau dari hasil usaha bisnis lainnya. Tidak akan ditemukan ayat yang mewajibkan seorang penjual bayar zakat bila dagangannya laku terjual, sebagaimana tidak akan ditemukan hadits yang seperti itu.


Kenapa Zakat Hasil Perniagaan Begitu Populer?

Mungkin Anda akan bertanya, kalau ternyata para ulama klasik tidak mengakui adanya zakat atas harta perniagaan, lalu kenapa zakat ini begitu populer, setidaknya untuk hari ini?


Maka jawabnya adalah bahwa kalau pun hari ini ada pendapat yang dirilis tentang adanya zakat periagaan, atau kewajiban zakat atas tansaksi jual-beli, perlu diketahui bahwa itu hanyalah pendapat yang baru muncul di abad ke-20 ini saja, yang tidak secara bulat disepakati oleh seluruh lapisan ulama.

Namun entah bagaimana, mungkin karena terlanjur populer atau memang para pendukungnya cukup gencar 'berkampanye' setiap saat, akhirnya masyarakat kita yang awam pun ikut tergiring opininya. Sehingga seolah-olah zakat atas keuntungan jual-beli atau zakat perniagaan itu benar-benar wahyu yang turun dari langit dan mutlak adanya.


Padahal kalau kita lurus merujuk pada dali-dalil Al-Quran dan As-Sunnah, kita tidak akan pernah menemukan dalil sharih yang mewajibkan seseorang yang menjual barang dagangannya untuk membayar zakat.

Yang Ada Hanyalah Zakat Atas Timbunan Harta Yang Diniatkan Untuk Diperjual-belikan

Dalam fiqih klasik, yang dikenal bukanlah zakat atas setiap transaksi jual-beli dan juga bukan hasil keuntungan dari perdagangan. Tetapi yang dikenal adalah zakat atas masa penyimpanan benda-benda yang ketika dibeli, niatnya memang untuk diperjual-belikan. Lalu benda-benda itu dimiliki atau disimpan selama satu tahun oleh si pedagang dan menjadi timbunan harta. Dan dari situlah baru ada kewajiban untuk membayar zakat.

Sedangkan proses jual-belinya sendiri, justru sama sekali tidak terkena zakat. Tidak ada zakat ketika si pedagang membeli barang dagangannya, dan juga tidak ada zakat pada saat menjualnya.


Yang ada zakatnya justru ketika si pedagang menyimpan, menimbun, atau istilah mempunyai stok barang yang mau diperdagangkan, dimana nilai barang itu telah melebihi nishab (senilai 85 gram emas) dan disimpan selama satu haul (satu tahun qamariyah).

Karena itu nama yang disematkan pada zakat ini sebenarnya bukan zakat jual-beli, juga bukan zakat perniagaan, tetapi namanya adalah zakat urudh at-tijarah. Terjemahan bebasnya adalah zakat atas barang-barang yang disimpan dan diniatkan untuk diperjual-belikan.

Dalam kitab Syarah Fathul-Qadir jilid 1 hal. 526 disebutkan bahwa definisi zakat ini yaitu :


كُل مَا أُعِدَّ لِلتِّجَارَةِ كَائِنَةً مَا كَانَتْ سَوَاءٌ مِنْ جِنْسٍ تَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ الْعَيْنِ كَالإْبِل وَالْغَنَمِ وَالْبَقَرِ أَوْ لاَ كَالثِّيَابِ وَالْحَمِيرِ وَالْبِغَال

Segala benda yang disiapkan untuk dijadikan objek jual-beli baik dari jenis yang wajib dizakati seperti unta, kambing dan sapi, atau pun bukan jenis barang yang wajib dizakati, seperti pakaian, himar dan bagal.

Dasar masyru'iyah yang digunakan dalam zakat ini diantaranya adalah hadits berikut :

عَنْ سَمُرَةَ كَانَ النَّبِيُّ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نَعُدُّ لِلْبَيْعِ

Dari Samurah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari barang yang siapkan untuk jual beli. (HR. Abu Daud)

Kalimat "alladzi nu'adu lil-bai'i" artinya adalah benda atau barang yang kami persiapkan untuk diperjual-belikan. Jadi zakat ini memang bukan zakat jual-beli itu sendiri, melainkan zakat yang dikenakan atas barang yang dipersiapkan untuk diperjual-belikan.

Ijtihad Yang Perlu Dihargai

Lepas dari kenyataan bahwa zakat jual-beli dan perniagaan itu hanya merupakan hasil ijtihad manusia, namun kita tetap harus menghomati ijtihad itu. Biar bagaimana pun ijtihad itu tidak dilakukan dengan niat buruk, sehingga tetap harus kita hargai, walaupun kita tetap diperbolehkan untuk bersikap kritis.

Satu hal yang perlu juga kita ketahui, karena zakat jual-beli dan perniagaan merupakan ijtihad manusia di masa sekarang, wajar sekali kalau dalam tata aturan dan ketentuannya seringkali berbeda-beda.

Versi Pertama

Sebagian dari pendukung zakat ini bikin aturan bahwa semua omzet atau pemasukan harus langsung dikenakan zakat, tanpa harus dipotong terlebih dahulu dengan pengeluaran, modal dan tetek bengeknya.

Versi pertama ini mudah saja kita pahami, karena 100% persen mirip dengan logika para petugas pajak. Coba perhatikan petugas pajak itu. Ketika mereka mengutip pajak pada suatu usaha, katakanlah restoran dan hotel, langsung saja dikenakan charge 21%.

Tidak peduli hotel dan restoran itu untung atau rugi dalam usahanya, pokoknya langsung dipungut. Dan imbasnya, tentu para pengusaha tidak mau diperlakukan begitu saja, lalu pajak itu langsung dikenakan kepada konsumen. Maka kita sebagai konsumen, kalau makan direstoran atau menginap di hotel, langsung dikenakan pajak yang membuatnya harganya jadi lebih mahal dari harga aslinya.

Lalu begitulah, para pendukung zakat model ini cara berpikirnya mirip petugas pajak di atas. Logika pajak begitu saja ditancapkan dalam hukum zakat ciptaan mereka. Walhasil, jangan kaget kalau ada fatwa yang mewajibkan zakat atas tiap transaksi penjualan.

Apalagi ada istilah yang populer dan nyaris menjadi kembar siam dengan istilah dalam dunia pajak, yaitu 'target penerimaan zakat'. Maka tiap lembaga amil zakat seolah berlomba-lomba menarik dana zakat dari masyarakat, tidak peduli lagi dengan kajian syariahnya.


Fatwa yang paling lemah dan sebenarnya tidak didukung dengan dalil qath'i sekalipun, asalkan mendukung semangat menarik zakat sebesar-besarnya, langsung dipakai.


Versi Kedua

Kelompok kedua agak sedikit lebih manusiawi. Mereka agak longgar dan menyerahkan kepada penguasaha untuk menghitung dulu pemasukan dan pengeluaran. Kalau usahanya memberikan keuntungan, maka dari keuntungannya itu dikenakan zakat.


Tetapi kalau usahanya tidak memberikan keuntungan alias rugi atau malah nombok, maka tidak perlu dikeluarkan zakatnya.


Sebab dalam logika mereka, zakat itu hanya berlaku buat mereka yang memiliki kekayaan, sedangkan mereka yang pailit atau merugi, mana bisa dikenakan zakat.

Kelompok kedua ini nampaknya tidak begitu saja menerapkan logika pajak pada zakat. Mereka hanya mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya.

Kesimpulan

Sebagaimana biasa, saya tidak ingin menggiring opini apalagi memaksakan suatu pendapat tertentu, dimana para ulama berbeda pendapat. Setelah jelas semua perbedaan pendapat di atas dipaparkan, maka pilihan kembali kepada masing-masing kita. Silahkan pilih pendapat yang mana yang sekiranya mau diambil.

Cuma pesan saya, kalau pun kita mengambil pendapat yang menyatakan tidak ada zakat perniagaan, bukan berarti saya menganjurkan kita untuk bersikap pelit, lalu tidak mau berbagi rejeki dengan sesama.

Kajian ini cuma memilah, apakah suatu harta masuk ke dalam kategori zakat atau sedekah biasa. Kalau hasilnya ternyata harta itu tidak termasuk zakat yang diwajibkan, bukan berarti kita jadi tidak perlu bersedekah. Kita tetap harus bersedekah, sebab sedekah mendatangkan begitu banyak kebaikan, baik yang bersifat duniawi ataupun ukhrawi.

Zakat bukan satu-satunya cara kita menangguk pahala. Zakat hanya satu pintu di antara seribu pintu lain yang bisa mengantarkan kita ke jalan menuju surga.


Intinya, mari kita perbanyak sedekah, wakaf, infaq dan juga zakat, mumpung kita masih hidup di dunia ini. Inilah waktunya untuk memesan tempat terbaik di surga.


Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Ahmad Sarwat, Lc., MA
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1374586624&title=zakat-perniagaan-bagaimana-menghitungnya


Komentar